Pagi hari yang cerah di pusat Jakarta terlihat matahari 40 derajat diatas kepala, dengan ramainya suara lalu lalang orang yang hendak mudik dipelataran rel kereta api Stasiun Senen. Tak sengaja pemandangan mencolok terlihat dari kedua mataku, kawasan kumuh berada di pinggir rel kereta api, membuat kaki ini beranjak untuk menyusuri daerah tersebut. Kawasan senen yang dulu terkenal dengan kehidupannya yang keras, ternyata benar adanya, pandanganku saat menyusuri daerah yang dipenuhi dengan tumpukan botol-botol, sampah, kardus dan berderet bangunan yang terbuat dari terpal kardus bahkan ada yang hanya dari gerobak sampah.

Terlihat aktifitas yang sungguh membuat hati ini berontak, aktifitas seperti mandi, mencuci, tidur, membuang hajat dilakukan di tempat seperti ini (di pinggir rel), bahkan anak-anak bermain dipelataran rumahnya yang berupa rel kereta. Tatapan tajam dan kurang ramah yang kudapat saat kusapa penghuni bantaran rel kereta api itu. Mungkin hanya berselang waktu kira-kira 10 menit lalu lalang kereta api menyapa warga penghuni bantaran di setiap harinya yang hanya kira-kira 3-4 meter jarak dari rumah gubuk yang mereka tinggali.

Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pemulung, mereka adalah salah satu replika kemiskinan ibu kota, yang tidak memiliki tempat tinggal, dan melegalkan bantaran rel kereta untuk disinggahi. Sebagian besar dari mereka merupakan kaum urban dari sejumlah daerah di Indonesia, minimnya keahlian membuat mereka tergerus oleh kerasnya kehidupan di Jakarta yang penuh dengan persaingan, sehingga menjadi tunawisma.

Puluhan meter aku langkahkan kaki sambil mengabadikan moment yang ada, mataku terperangah dengan aktifitas di palang batas pintu kereta yang dikenal oleh warga sekitar bernama kawasan gaplok, yang beralih fungsi menjadi pasar dadakan dipinggir rel, potret kemiskinan di Indonesia dapat kita lihat disini tanpa kita harus jauh-jauh kepolosok daerah untuk melihat kemiskinan . YULIUS SATRIA WIJAYA